okes.co.id - Imbas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, jadi perbincangan hangat. Pemerintah yang "melantunkan" kenaikan harga Sabtu (3/9) siang, memantik persoalan baru. Khususnya di kalangan masyarakat ekonomi lemah.
Masyarakat menilai, keputusan yang realisasikan pemerintah, sangat tidak berpihak ke masyarakat bawah, justru cenderung mengenakkan masyarakat berduit.
"Masyarakat berpenghasilan kecil justru digencet dengan harga BBM yang tinggi, sementara yang berduit justru dibuat enak, " gerutu Wak Jon, saat menunggu adzan di kelurahan Talang Jawa.
Hal itu bukan tanpa alasan. Karena pada 31 Agustus 2022, pemerintah mengumumkan turunnya harga BBM non subsidi. Seperti, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex. Penurunan harga rata-rata Rp 2.000 perliter.
Sementara kenaikan harga BBM Subsidi, berlaku untuk Pertalite yang naik menjadi Rp10.000 dan Solar menjadi Rp6.800.
Keputusan naiknya harga BBM subsidi, karena presiden RI Joko Widodo menginginkan subsidi tepat sasaran. Karena selama ini subsidi BBM banyak dimanfaatkan kaum berduit yang mencapai 70%.
"Seharusnya yang dinaikkan itu harga BBM non Subsidi, karena orang kaya pasti mampu. Kalau masyarakat penghasilan minim, pasti bingung. Dengan harga lama saja bingung, apalagi harga baru, " tuturnya.
Kenaikan harga BBM dipastikan berdampak ke semua sektor. Dirinya mencontohkan, jasa antar ojek. Diprediksi akan naik sehari pasca pengumuman.
"Biasanya ongkos ojek Rp 5 ribu, ke depan bisa Rp 8 ribu-10 ribu. Dan belum tentu ada penumpang, sementara BBM di kendaraan sudah pasti berkurang, " jelasnya.
Belum lagi, tambah Yanto, kebijakan tersebut berpengaruh terhadap harga kebutuhan pokok.
"BBM belum naik, harga telur sudah melambung. Belum lagi harga cabai, dan masih banyak dampak lain yang bakal muncul, " ungkapnya.
Sementara naiknya harga BBM subsidi, tak berpengaruh terhadap pejabat. Khususnya yang memiliki kendaraan dinas.
"BBM mereka ditanggung pemerintah. Mereka ngisi pake nota, jadi para pejabat enak ya, " ketusnya. (Stf)