Oleh: Dahlan Iskan
DALAM diri saya, mungkin, mengalir juga darah Samin. Saya setuju Azrul Ananda mengundurkan diri sebagai Presiden Persabaya. Sayang saya bukan orang yang berhak menyetujui atau tidak menyetujui.
Dan lagi kita bukan lagi bicara tentang Persebaya dengan Bonek dan Bonitanya. Kita akan bicara tentang kesaminan Presiden Donald Trump.
Ia pernah bilang yang ia angkut ke rumahnya di Mar a Lago di pantai Florida itu bukan dokumen rahasia negara. Itu dokumen pribadi.
Ketika badan penyelidik federal, FBI, menggeledah rumahnya 11.000 dokumen disita. Dibawa ke FBI. Semua dokumen negara. Rahasia. Bahkan, sebagian, rahasia tingkat tertinggi.
Maka secara hukum muncul persoalan. Trump yang memunculkan: apa itu rahasia negara. Siapa yang berhak menetapkan sebuah dokumen termasuk rahasia negara.
Trump memang harus membela diri. Agar tidak terkena perkara kriminal. Katanya: seorang presiden berhak menentukan mana yang rahasia negara dan mana yang bukan.
Apakah Presiden Trump sudah memutuskan bahwa yang ia simpan di ''istana'' pribadinya itu sudah bukan rahasia negara?
"Sudah," katanya.
Mana surat keputusannya?
"Masih di dalam pikiran. Presiden bisa memutuskan dari pikiran," katanya ketika diwawancarai di FoxNews dua hari lalu.
Ya sudah. Berarti Trump sudah memutuskan semua dokumen itu sudah bukan rahasia negara.
Maka kalau saja Trump berkunjung ke Blora ia pasti dilempari batu oleh keturunan Samin di sana. Pola pikir Samin tidak begitu. Itu justru menghina Samin.
Grup pesantren kami punya madrasah unggulan di Randublatung, pusat Samin di selatan kota Blora: Pesantren Sabilil Muttaqin, PSM. Saya sering ke sana. Saya izinkan mereka ikut demo kalau Trump berkunjung ke Randublatung besok: ikut acara PSM Bersalawat.
Trump seperti terus saja terpeleset lidah. Atau memang orangnya begitu. Mungkin jalan pikirannya betul: semua keputusan dibuat di pikiran. Jadi, kalau Trump bilang ia sudah memutuskan semua itu bukan dokumen rahasia orang lain harus percaya kepadanya. Termasuk para penyelidik itu.