Di Jayawijaya ia punya masjid. Kalau Jumat ia yang berkhotbah. Waktu peringatan Maulid Nabi dua minggu lalu ia menyelenggarakan acara adat setempat: bakar batu.
Di sana, acara bakar batu sangat spesial. Natal bakar batu. Kematian, bakar batu. Perkawinan bakar batu. Iduladha bakar batu. Ada yang untuk ulang tahun pun bakar batu.
Saya pernah disambut acara bakar batu di sana. Orang sekampung berkumpul. Di tanah ladang yang lapang. Tanpa peduli agamanya apa. Yang penting sama-sama berkulit hitam dan berambut keriting. Pun kalau ada pendatang. Yawuyoko lebih penting dari perbedaan keyakinan. Mereka saling bantu.
Upacara bakar batu tidak bisa dilakukan sendirian. Harus orang banyak.
Pekerjaan pertama: menggali tanah. Bikin kubangan. Cukup dalam. Lebih 1 meter. Lalu mengumpulkan kayu kering.
Bahan bakar itu ditumpuk di bagian paling bawah kubangan.
Di atas hamparan tumpukan kayu bakar itu ditumpuki batu. Berlapis. Sampai rapat. Kayu pun dibakar. Sampai batunya berwarna merah –saking panasnya.
Di atas batu panas itulah daging di-jejer-jejer. Lalu ditimbun alang-alang. Tebal. Barulah ditutup dengan tanah.
Setengah jam kemudian tanah penutup disingkirkan. Alang-alang setengah terbakar disibak. Terlihatlah daging yang sudah masak. Siapa saja boleh ambil daging itu. Dimakan. Sambil duduk di atas rumput. Atau sambil berdiri. Terserah saja. Rasanya luar biasa. Steak paling enak di Texas pun kalah. Daging panas. Dimakan di udara yang sangat sejuk. Ketika tambah lagi pun dagingnya masih panas.
Bakar batu yang asli adalah babi. Utuh. Beberapa ekor sekaligus. Tapi di kampung Faruq bakar batunya pakai sapi, domba, atau ayam.
"Waktu Maulid Nabi yang lalu kami masukkan 300 ekor ayam ke lubang bakar batu," ujarnya.
Pernah juga seekor sapi. Dalam satu lubang. Sapinya sudah dipotong-potong. Rasanya, steak paling enak di Texas pun kalah.
Kadang ubi hapuru atau talas itu ikut dimasukkan ke dalam kubangan. Ikut dimasak. Dimakan bersama daging.
Duh, upacara bakar batu itu, meriah, rukun, bahagia, dan lezatnya luar biasa.