Kasus ini sendiri bermula pada tahun 2019, saat Sarimuda menjabat sebagai Direktur PT SMS. Pada saat itu, ia menginisiasi kerja sama pengangkutan batubara dengan menggunakan fasilitas PT KAI Persero dengan beberapa pelanggan. Termasuk perusahaan pemilik batubara dan pemegang izin usaha pertambangan.
PT SMS Perseroda kemudian menerima pembayaran berdasarkan per metrik ton melalui kontrak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan batubara tersebut.
Selain itu, PT SMS Perseroda juga menjalin kerja sama dengan beberapa vendor untuk menyediakan jasa pendukung.
Namun, antara tahun 2020 dan 2021, KPK juga menduga Sarimuda turut terlibat dalam pengeluaran uang dari kas PT SMS Perseroda dengan pembuatan dokumen invoice atau tagihan fiktif.
Sayangnya, sebagian besar pembayaran dari beberapa vendor tidak masuk sepenuhnya ke kas PT SMS Perseroda. Sejumlah besar uang ini ternyata Sarimuda gunakan untuk keperluan pribadinya.
Selain itu, melalui pencairan cek bank bernilai miliaran rupiah. Sarimuda juga menyisihkan ratusan juta rupiah dalam bentuk tunai melalui orang kepercayaannya.
Lebih lanjut, ada dugaan bahwa ia juga mentransfer sejumlah uang ke rekening bank salah satu perusahaan anggota keluarganya. Meskipun perusahaan tersebut tidak memiliki kerja sama bisnis dengan PT SMS Perseroda. (*)
Artikel ini telah tayang di sumateraekspres.id