Oleh: Dahlan Iskan
SAYANG, program pergantian elpiji ke kompor listrik dimulai dari isu yang kurang simpatik: untuk mengatasi kelebihan listrik di Jawa.
Dengan isu itu seolah pergantian ini hanya untuk kepentingan PLN. Agar PLN tidak rugi. Agar PLN tidak dituduh salah dalam membuat perencanaan, sampai terjadi kelebihan.
Atau, jangan-jangan motif utamanya memang itu.
Memang terjadi kelebihan pasok listrik yang sangat besar di Jawa. Pembangkit-pembangkit raksasa, milik swasta, selesai dibangun.
Unit yang kapasitasnya 1.000 MW/unit saja ada 4 buah. Di Banten. Di Cilacap. Di Batang ada dua, milik Adaro. Di utara jalan tol Jakarta-Semarang itu.
Empat raksasa itu sekaligus lambang kehebatan Indonesia: mampu memiliki pembangkit raksasa seperti di negara maju.
Itulah unit terbesar PLTU yang mampu dibangun manusia. Tidak ada yang lebih nesar dari itu. Harus dengan sistem super-super kritikal.
PLN harus membeli semua listrik itu. Tapi PLN kesulitan menjual sampai habis. Permintaan listrik di Jawa turun. Sejak jauh sebelum Covid –diperparah oleh pandemi.
Kenapa permintaan listrik turun?
Sebenarnya tidak turun. Tapi tidak naik. Sebenarnya naik tapi tidak sebanyak yang diperkirakan.
Ambisi negara ini untuk maju memang sangat besar. Itu terlihat dalam kampanye Pilpres.
Angka pertumbuhan ekonominya diinginkan sampai 6 persen. Bahkan ada capres yang menjanjikan sampai 7 persen.
Ambisi itu tidak mungkin dicapai kalau listriknya tidak disediakan. Harus dalam jumlah yang cukup.
Pertumbuhan penyediaan listrik harus 2 persen di atas pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.