"Tidak bisa begitu," ujar Heru Satriyo, yang sudah 11 tahun menjabat ketua MAKI (Masyarakat Anti Korupsi) Jatim. Heru ke rumah saya dua hari lalu. Ia disertai 8 orang pengurus MAKI Jatim. Kami mendiskusikan soal Pokmas dan Pokir. Juga soal proses perizinan UMKM yang masih belum sederhana. Termasuk dalam mendapat label halal. Padahal lebih 9 juta UMKM di Jatim. Kami juga memikirkan bagaimana agar UMKM bisa menyatakan sendiri bahwa produknya halal.
Mengapa anggaran seperti Pokmas dan pokir tidak bisa dihapus?
"Masalahnya, ada aturan Kemendagri yang menyatakan 7 persen dana APBD bisa dikelola DPRD," kata Heru.
Maka, kata Heru, ketika persentase itu belum tercapai, anggota DPRD menagih. "Mereka sebenarnya ingin berbentuk Pokmas seperti dulu. Tapi Pemprov tidak mau," ujar Heru.
Dengan model Pokir, Pemprov memang merasa lebih aman. Apalagi ruang kerja gubernur sempat ikut digeledah terkait Pokmas dulu.
Memang lewat Pokir proses lebih panjang. Waktu pelaksanaan pun kian mepet. "Sekarang ini tiap anggota dapat tambahan plafon Rp 1,3 miliar. Waktu sudah mepet. Apa mungkin?" ujar Heru. "MAKI Jatim akan terus mengawasi ini," katanya. Jangan sampai dengan alasan waktu yang sempit terjadi korupsi.
Setidaknya lewat Pokir, mestinya, tidak akan ada lagi praktik ngijon proyek seperti yang menjerat Sahat. Atau tetap ada? (*)