Putusan Otak

Putusan Otak

--

Trump seperti terus saja terpeleset lidah. Atau memang orangnya begitu. Mungkin jalan pikirannya betul: semua keputusan dibuat di pikiran. Jadi, kalau Trump bilang ia sudah memutuskan semua itu bukan dokumen rahasia orang lain harus percaya kepadanya. Termasuk para penyelidik itu.

Tapi para penyelidik tidak percaya. Kecuali Trump melubangi kepalanya, lalu mengambil bagian otaknya yang memutuskan itu, untuk diserahkan ke FBI. Sebagai barang bukti. Cuilan otak itulah barang bukti bahwa ia sudah membuat keputusan.

Tentu Trump tidak mau melubangi kepalanya. Ia hanya berargumen. Sebagai taktik mengulur waktu. Dan lagi Trump memang punya hobi mengabaikan bukti. Tuduhannya bahwa pemilu curang tanpa bukti. Tuduhan bahwa Presiden Biden mencuri suara tanpa bukti. Tuduhan Obama tidak lahir di Amerika tanpa bukti.

Juga pekan lalu. Seminggu sebelum ia mengatakan ''sudah membuat keputusan di dalam pikiran''. Ia melontarkan tuduhan baru pada FBI: penyelidik sengaja membawa dokumen rahasia ke rumahnya, lalu ditaruh di situ, untuk kemudian disita sebagai barang bukti.

Pengikut Trump pun percaya itu. Rupanya mereka percaya FBI sudah meniru praktik polisi di negara pewayangan. Pengikut Trump, Anda sudah tahu: sangat fanatik dan militan. Bahkan Trump, pekan lalu, mengancam: kalau soal dokumen ini ia dijadikan tersangka, pengikutnya tidak akan bisa menerima. Mereka akan menjadi ancaman keamanan. Maksudnya: mereka akan mengamuk di jalan-jalan.

Pekan lalu FBI memang terlihat sudah akan melangkah ke sana. Trump juga tahu. Maka ia mencari jalan memutar. Ia minta ke pengadilan: agar diangkat dulu penilai independen. Penilai independenlah yang akan menentukan apakah dokumen itu rahasia atau bukan. Ia tidak mau polisi yang menentukan. FBI sudah ia anggap bermain politik.

Amerika hebat. Di bidang penegakan hukum. Lihatlah apa kata pengadilan. Permintaan Trump itu dikabulkan. 

Penegakan hukum begitu diutamakan di sana. Pun ketika harus lebih rumit dalam menghadapi tokoh sekelas mantan Presiden Donald Trump.

Hukum dan demokrasi memang berjalan seiring di sana. Karena itu bisa menjadi negara adil dan maju. Ketidakadilan masih terjadi di sana. Tapi punya cara penyelesaian hukum yang sangat tegak. 

Saya menilai hukum dan demokrasi itu ibarat roda depan dan belakang di sebuah mobil. Kalau pun mesin mobil itu mogok masih bisa didorong. Tapi, tanpa ban ia hanya onggokan besi.

Saya ikut Anda saja: yang roda depankah yang demokrasi atau yang belakangkah yang hukum. Sama saja. Yang penting demokrasi tanpa penegakan hukum, mobil tidak bisa bergerak maju. Tanpa penegakan hukum demokrasi hanya di bibir saja. 

Mobil kita sebenarnya sudah punya roda depan. Sudah 20 tahun. Sudah dicoba dijalankan. Gembos satu. Bisa saja yang gembos itu ditambal. Berarti harus dibawa ke tukang tambal ban. Tidak bisa. Roda belakangnya belum ada. Atau baru ada velg-nya.

Di Amerika roda demokrasi dan roda penegakan hukumnya begitu komplet. Muka-belakangnya sama-sama berfungsi.

Dengan dikabulkannya permintaan Trump, maka FBI menahan diri. Biarkan proses pengadilan berjalan dulu. Ini baru pertama terjadi. Barang bukti sebuah tindak pidana dinilai dulu oleh pihak ketiga.

Pengadilan pun menunjuk ahli hukum senior untuk menjadi penilai independen itu. Umurnya sudah 78 tahun. Namanya: Raymond Dearie. Ia masih aktif sebagai hakim. Di distrik timur New York. Usia tidak masalah. Dari hakim yang diperlukan kejernihan pikiran dan hatinya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: