Bawang Yawuyoko

Bawang Yawuyoko

--

"Dari hasil pertanian?" tanya saya.

"Iya....," katanya lirih, lantas tersenyum menunduk.

"Sampai kapan tanam bawang?"

"Sampai tidak laku lagi," katanya. Habis menanam bawang ini ia akan menanam bawang lagi. Dan lagi. Dan lagi. 

Di sekeliling bawang itu ia tetap menanam hepuru. Itu bahan makanan pokok di sana. Tidak boleh tidak punya hepuru. "Kalau persediaan beras di rumah akan habis kita tidak punya rasa waswas. Tapi kalau hepuru akan habis kita cemas," katanya.

Ia dan umumnya orang Wamena, lebih memilih makan hepuru daripada nasi. Nasi hanya dimakan sesekali. Siang hari. Pagi dan malam lebih enak makan hepuru. Terutama makan malam. Tanpa lauk apa pun.

Bagaimana bisa; habis tanam bawang tanam bawang lagi? Sampai enam kali berturut-turut? Dan masih akan bawang lagi? Tidakkah hasilnya kian menurun?

"Hasilnya tetap sama. Tidak ada penurunan," katanya.

"Diberi pupuk apa?" tanya saya.

"Tidak diberi pupuk apa-apa," katanya. "Tidak ada yang jual pupuk di Wamena," tambahnya.

"Diberi pupuk kotoran hewan?" tanya saya lagi. 

"Juga tidak".

Itulah tanah Wamena. Tanah Jayawijaya. Yang umumnya di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut. Atau lebih tinggi lagi. Petaninya tidak mengenal pupuk. Tidak ada yang jual pupuk. Tanamannya tetap tumbuh subur.

Juga tidak ada saluran irigasi. Curah hujan cukup sekali. Sepanjang tidak ada perubahan iklim. Mungkin sampai traktor masuk Wamena. Atau mobil bensin kian banyak di sana. Tambah lagi pembangkit listrik fosil.

Maka baiknya mobil listrik dimulai dari Wamena. Sekalian sepeda motornya. Tidak boleh lagi ada penjualan mobil dan motor bensin di sana. Mumpung listriknya juga dari tenaga air. Kalau kelak tidak lagi cukup masih bisa membendung sungai Wamena. Bisa menghasilkan listrik sebesar berapa mega pun pun. Cukup untuk 9 kabupaten di Jayawijaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

OKU

7 bulan