Langkah Awal untuk Perempuan Berdaya, Indonesia Emas Berjaya

Langkah Awal untuk Perempuan Berdaya, Indonesia Emas Berjaya

Pendidikan sebagai fondasi pemberdayaan perempuan. (Foto Zalfa Rihadatul Aisy)--

Kesetaraan Gender sebagai Pilar Indonesia Emas

OKES.NEWS - Indonesia berambisi menjadi negara maju, serta  memiliki visi besar untuk menjadi bangsa yang kuat dan mandiri pada tahun 2045 yang dikenal dengan Indonesia Emas. Indonesia Emas 2045 tidak hanya berfokus pada pembangunan secara fisik dan ekonomi saja, akan tetapi pembangunan manusia juga dijadikan fokus utama. Salah satu permasalahan dalam pembangunan manusia Indonesia adalah kesenjangan gender. Menurut laporan World Economic Forum tentang kesenjangan gender di tahun 2024, Indonesia menduduki peringkat 100 dari 146 negara. Peringkat ini belum menggembirakan dan mengisyaratkan masih banyak hal konkret yang harus dilakukan untuk menuju kesetaraan gender. Dalam mencapai Indonesia Emas 2045, kesetaraan gender tentu harus mendapatkan perhatian lebih.

Kesetaraan gender juga menjadi salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang kelima, meliputi pemberian hak dan kesempatan yang sama kepada setiap insan tanpa memandang gender. Hal ini selaras dengan salah satu pilar pembangun Indonesia emas untuk pembangunan manusia, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu upaya untuk menjadikan Indonesia emas berdaya adalah pemberdayaan perempuan.

Capaian Gender Global dan Regional

Pada penghitungan angka kesenjangan gender secara global, terdapat empat komponen yang diukur yaitu pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, kesempatan dan partisipasi ekonomi, serta pemberdayaan politik. Selama setahun terakhir, ada penurunan kesenjangan gender pada komponen pendidikan dan kesehatan. Namun, pada komponen pemberdayaan politik terjadi stagnasi, sementara pada komponen partisipasi ekonomi perempuan justru melambat. Kedua komponen ini seharusnya menjadi fokus dalam peningkatan kesetaraan gender.

Secara regional, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan tiga indikator untuk mengukur kesetaraan gender, yaitu Indeks Ketimpangan Gender (IKG), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Pada level capaian gender di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), IDG perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah OKU. Dari 17 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten OKU menempati peringkat ke-15 dengan angka 52,45. Angka ini menempatkan Kabupaten OKU pada posisi bawah dalam pemberdayaan gender, posisi yang dirasa masih mengecewakan. Dimensi politik menyumbang posisi paling lemah terhadap capaian IDG. Hal ini terlihat melalui data persentase perempuan di parlemen Kabupaten OKU yang hanya 8,57 persen merepresentasikan minimnya peran perempuan dalam dimensi politik.

Penghambat Kesetaraan Gender

Pada periode 2019-2024, Komisi Pemilihan Umum mencatat peranan perempuan dalam parlemen mencapai angka 20,87 persen, di mana angka tersebut belum mencapai target 30 persen seperti yang dicita-citakan. Meskipun progresnya belum sesuai harapan, sudah ada potensi perluasan peran politik perempuan dalam ruang pengambilan keputusan politik negara. Peningkatan pemberdayaan politik merupakan hasil jangka panjang dari kebebasan perempuan dalam mengakses kualitas kesehatan dan pendidikan.

Pendidikan politik juga mengambil peran krusial. Perempuan diharapkan dapat memahami isu-isu politik dengan baik dan pada akhirnya mampu memiliki pandangan dari sudut pandang perempuan. Dengan memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi, perempuan dapat menyuarakan dan mengambil peran lebih dalam menentukan kebijakan. Sehingga pada akhirnya perempuan dapat membawa kaumnya tegak sejajar dengan laki-laki.

Optimalisasi Kesetaraan Gender di Kabupaten OKU

Dalam bidang kesehatan, di zaman modern ini masih ada fenomena perempuan yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan. Sekitar 0,175 persen perempuan pernah menikah dan berusia 15-49 tahun melahirkan anak hidup tidak di fasilitas kesehatan pada tahun 2023. Artinya dari 10.000 perempuan kawin usia 15-49 tahun, ada 17-18 perempuan yang melahirkan anak hidup tidak di fasilitas kesehatan. Bukan hanya berdampak pada ibu, bayi yang dilahirkan juga harus menanggung risiko yang sama. Keterbatasan pengetahuan medis dan sarana yang digunakan pada proses persalinan meningkatkan kemungkinan bayi terlahir cacat atau stunting

Fenomena lainnya adalah pernikahan dini. Kondisi tubuh perempuan seharusnya masih dalam masa pertumbuhan serta organ reproduksi belum siap sempurna untuk menjalani kehamilan menjadi penyebab utama tingginya tingkat kematian anak pertama bagi ibu muda. Berdasarkan data Susenas 2023, ada 0,344 persen dari jumlah perempuan berusia 15-49 tahun melahirkan anak hidup pada usia kurang dari 20 tahun di OKU. Hal ini berarti dari 10.000 perempuan kawin berusia 15-49 tahun, ada 34 perempuan yang melahirkan anak hidup pertama pada usia kurang dari 20 tahun. Padahal, remaja perempuan di bawah usia 20 tahun seharusnya sedang berada di fase optimalisasi diri.

Peningkatan kesadaran akan pentingnya kualitas pendidikan juga tidak boleh diabaikan. Rata-rata Lama Sekolah perempuan di Kabupaten OKU mencapai 8,73 tahun, masih belum melewati batas wajib belajar selama 9 tahun. Meski angka ini sudah cukup baik jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, pemerintah Kabupaten OKU tidak boleh lengah untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan fondasi pendidikan yang kuat, perempuan dapat didorong untuk lebih berani mengeksplorasi diri, menyuarakan pendapat, serta mengambil peran lebih dalam masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: weforum.org okukab.bps.go.id sumsel.bps.go.id perpustakaan.bappenas.go.id