Mbah Ma'roef Profesor Doa dari Kedunglo yang Banyak Dikunjungi Orang dari Berbagai Golongan
Ribuan orang hadiri Haul KH M Ma'roef di Kedunglo Kediri--
Mbah Ma’roef lahir dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Mbah Yahi Abdul Madjid, bukan hanya pendiri pondok Klampok Arum selatan Masjid Badal, tetapi juga seorang tokoh terhormat di daerahnya.
Kisah hidup ayahnya yang memiliki kebiasaan tirakat dengan hanya makan kunir telah menjadi cermin kesabaran yang luar biasa. Di mata Mbah Yahi Ma’roef, ayahnya adalah seseorang yang memiliki batin yang tegar dan penuh ketenangan.
Ketika ibunya ingin tahu rahasia kesabaran ayahnya, ia membuatkan sayur tom yang sangat pahit dan mampu membunuh cacing yang menginfeksi kambing.
Namun, saat Mbah Yai Madjid memakannya dengan lahap dan bahkan meminta agar sayur tersebut dihidangkan lagi besok, ketenangan dan keikhlasan sang ayah dalam menjalani kehidupan nyatakan terpancar.
Mbah Ma’roef adalah anak kesembilan dari sepuluh bersaudara. Ia tumbuh di tengah-tengah tiga perempuan dan tujuh laki-laki, semuanya dengan potensi yang unik.
Di antara mereka adalah Nyahi Bul Kijah, KH. Muhajir, Kyai Ikrom, Kyai Rohmat, Kyai Abdul Alim, Kyai Jamal, Nyahi Muntaqin, Kyai Abdullah, KH. Moh. Ma’roef dan Nyahi Suratun.
Namun, kasih sayang ibu yang tiba-tiba berakhir ketika ia masih kecil, memberikan ruang bagi kasih sayang ayah dan saudara-saudaranya untuk mengisi tempat yang ditinggalkan.
Meski menghadapi keterbatasan ekonomi, ia tidak dapat melanjutkan pendidikan formal. Mbah Ma’roef hanya belajar mengaji Al Qur’an, diajarkan oleh kakaknya sendiri.
BACA JUGA:Jelang 400 Hari Menuju Pileg dan Pilpres 2024, Ulama Nusantara Kumpul Bersatu Menjaga Indonesia
Meski awalnya tampak kesulitan memahami pelajaran tersebut, ia menjalani puasa Senin-Kamis atas saran adik perempuannya.
Sebuah perubahan besar datang ketika ia bermimpi ikan Mas melompat ke dalam mulutnya. Setelah mimpi itu, ia tiba-tiba bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar hingga khatam.
Perjalanan hidupnya tidak lepas dari perjuangan dan ujian yang berat. Saat mengenyam pendidikan di Pondok Cepoko di Nganjuk, ia menghadapi keterbatasan pangan.
Pada hari-hari biasa, makanan hanya datang seminggu sekali, diberikan oleh orang-orang baik hati sekitar pondok. Bahkan, ia hanya makan nasi hangus yang masih melekat di panci atau buah Pace yang ia tanam sendiri. Ia bahkan pernah mengemis bersama kakaknya untuk mencari biaya hidup.
Namun, dari ujian dan keterbatasan itu, tumbuh tekad dan ketekunan dalam menimba ilmu. Berkat usaha dan kesungguhannya, ia mendapat anugerah ilmu laduni dalam ilmu Fiqih. Ia mampu membaca dan memahami kitab kuning yang sebelumnya sulit baginya.
Pengalaman ini membawanya menjadi guru bagi santri lain di Pondok Cepoko, meski awalnya dianggap sepele oleh teman-teman sekelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: