Ketika ditanya mengapa tidak suka mempunyai banyak santri? Beliau menjawab.”Aku emoh Tidak mau) memelihara banyak santri,''
Disamping repot, kalau punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena itu saya mohon kepada Allah, agar santri saya tidak lebih dari 50 orang.
Kalau lebih dari lima puluh, ada yang ndugal (nakal) akhirnya pondok ini jadi rusuh. Memang benar setelah diteliti santri beliau tidak pernah lebih dari 40 orang. Kalau lebih dari empat puluh orang pasti ada yang pulang.
Kedekatan beliau dengan santri dan para muridnya terbentuk dari hubungan seperti seorang ayah kepada anak-anaknya.
Para santri tak hanya belajar ilmu, tetapi juga mendapatkan keteladanan dan arahan kehidupan dari beliau.
Pengajaran Mbah Ma’roef tak hanya berkutat pada ilmu agama, tetapi juga mencakup berbagai disiplin ilmu tinggi.
Beliau mengajarkan kitab-kitab tinggi dengan metode pengajaran yang mendalam, bahkan membahas arud (balaghah) dalam pengajaran Syarah Al-fiyah.
Metodenya ini memastikan bahwa satu pelajaran telah merambah ke berbagai mata pelajaran lainnya.
Selain dedikasinya dalam pendidikan, Mbah Ma’roef juga terlibat dalam organisasi kemasyarakatan.
Pada tahun 1926, beliau bergabung dengan Nahdhatul Ulama (NU) dan duduk di posisi Mustasyar NU.
Kedudukannya di dalam organisasi ini menunjukkan tingkat keilmuannya yang diakui secara internasional.
Warisan lain yang tidak terlupakan adalah temperamen keras beliau yang diyakini berasal dari latar belakang hidupnya yang penuh tantangan.
Namun di balik sisi tegasnya, beliau juga sangat dermawan dan perhatian pada sesama. Tidak hanya dalam hal harta, beliau juga tidak pernah menolak permintaan doa dari siapa pun.
BACA JUGA:Mbah Ma'roef Profesor Doa dari Kedunglo yang Banyak Dikunjungi Orang dari Berbagai Golongan
Mbah Ma’roef juga memiliki nilai-nilai keluarga yang kuat. Meski memiliki ilmu yang luas, beliau menjaga keturunannya agar tetap rendah hati.